Thursday, November 5, 2009

Mereka Datang dan Mereka Menang!

Ketiga perempuan ini pergi dari kampung halaman mereka dan berhasil mewujudkan impian masing-masing di Jakarta. Apa kunci sukses mereka?

Krisdayanti, 32 tahun, Penyanyi
“Dari Awal, Saya Memang Ingin Kaya”

Sudah punya album terbaru Krisdayanti terbaru? Lagu apa yang paling Anda sukai? “Kalau saya pribadi, saya suka lagi I’m Sorry Goodbye. Karena, di lagu ini, saya bernyanyi apa adanya. Dalam album terbaru ini, saya memang lebih mengutamakan kesederhanaan, yang lebih mencerminkan kematangan dalam berkesenian dan sosok perempuan yang yang berani melakukan transformasi,” kata perempuan yang lahir di Batu, Malang, Jawa Timur pada 24 Maret 1975 ini.

Memang, sudah sewajarnya Krisdayanti memasuki masa kematangan dalam karirnya sebagai pekerja seni. Sudah lebih dari 15 tahun Krisdayanti atau biasa disingkat KD ini berada jalur musik industri. Dan, dalam rentang waktu sepanjang itu, KD juga telah banyak mengukir prestasi. Istri dari Anang Hermansyah ini pernah menjadi juara Asia Bagus, sukses dalam penjualan beberapa albumnya (antara lain album Cahaya meraih double platinum), berbagai konsernya juga menuai sukses (termasuk konser di bawah bendera 3 Diva, bersama Titi Dj. dan Ruth Sahanaya), pernah menjadi perempuan penyanyi dengan bayaran termahal di Indonesia, dan menjadi ikon beberapa produk. Pendek kata, KD merupakan salah satu fenomena dalam industri musik di Tanah Air.

Namun, tak banyak orang yang tahu kalau KD memulai karirnya sebagai penyanyi dari sebuah rumah petak di bilangan Pal Batu, Menteng Dalam, Jakarta Selatan. “Ketika orang tua saya berpisah, saya dan kakak saya, Yuni Shara, dibawa Mama ke Jakarta, sekitar pertengahan tahun 1980-an. Saya waktu itu kelas empat SD dan kakak saya kelas enam. Mama bekerja dengan penghasilan pas-pasan dan lebih mengandalkan penghasilan dari tips untuk menghidupi kami. Kami tinggal di rumah petakan sempit, padahal sebelumnya kami tinggal di rumah Eyang yang cukup luas di Malang. Pada masa di Jakarta inilah Mama mulai mengikutkan saya pada berbagai festival menyanyi di berbagai tempat. Saya dapat uang jajan, ya, dari hadiah berbagai festival itu,” kenang KD.

Toh, meski berada dalam kondisi serba-terbatas, KD tak pernah pantang menyerah. “Saya pernah nongkrong seharian di Taman Buaya TVRI biar bisa dapat kesempatan tampil di TVRI. Memang, ketika itu, untuk bisa tampil di TV tidak mudah,” ujarnya sambil tersenyum. Tahun 1991, ia memberanikan diri untuk ikut pemilihan gadis sampul yang diadakan sebuah majalah remaja di Jakarta. KD terpilih sebagai finalis. “Saya tidak menang, tapi kemudian saya sering mendapat panggilan pemotretan dari pihak majalah remaja itu karena saya selalu berusaha untuk disiplin dan tepat waktu. Dua hal itu saya jaga benar, karena saya kan bukan orang kaya yang bisa sewaktu-waktu mengatur orang. Jadi, saya harus menghargai waktu dan juga tidak boleh malas, tidak boleh bergantung pada mood, karena bagi saya tak ada kesempatan yang datang dua kali. Saya juga yakin, kalau kita tekun, pasti Tuhan akan memberi jalan buat kita,” ungkapnya.

Lewat pemilihan gadis sampul itu dan kemudian karena wajahnya sering muncul di majalah remaja, nama KD mulai banyak dibicarakan orang. Perlahan, karirnya sebagai penyanyi pun mulai terangkat, apalagi setelah ia menjuarai Asia Bagus. Kesuksesan demi kesuksesan menghampiri hidupnya dan ia berhasil mewujudkan mimpinya di Jakarta. “Sejak awal meniti berkarir, saya berkeinginan kuat untuk bisa sukses juga secara materi, ingin kaya,” kenangnya. Mimpinya ini juga yang ikut mendorong KD untuk menjadi orang yang tak mudah patah dalam menghadapi tantangan dan tak mudah lelah dalam mengarungi putaran roda nasib. “Kata orang Jawa, saya ini pusarnya dua, jadi tak pernah capek, ha-ha-ha…,” katanya.

KD mengaku, selain disiplin dan menghargai waktu, yang paling berperan dalam kesuksesan karirnya adalah doa ibunya. “Karena, tak ada doa yang lebih mustajab daripada doa seorang ibu kepada anaknya. Itulah sebabnya, dulu, kalau mau ke luar rumah, saya pamitnya bisa sampai empat kali ke Mama,” ungkapnya. Selain itu, tambahnya, kunci kesuksesannya yang lain adalah kemampuannya untuk berempati kepada orang lain, bisa menghargai orang lain yang telah memberikan kontribusi kepada dirinya, sekecil apa pun kontribusi itu. “Selain itu, alhamdulillah, dari dulu saya memahami apa itu self-promo. Saya juga selalu berpikir positif dan hati-hati menata hidup, apalagi setelah berkeluarga dan memiliki anak,” ujar ibu dari Titania Aurelia Nurhermansyah dan Azriel Akbar Hermansyah ini.

Retna Widawati, 36 Tahun, Group Product Manager Sido Muncul
“Saya Bekerja di Jakarta Awalnya Tidak Sengaja”

Sejak remaja, ketika masih duduk di bangku SMA di Semarang, perempuan yang akrab dipanggil Wiwid ini sudah kenal dunia kerja. “Saya menjadi penyiar di salah satu radio di Semarang,” ujarnya. Profesi ini ia jalani terus sampai Wiwid menginjak semester 8 di Jurusan Administrasi Niaga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang. Setelah itu, ia bergabung dengan sebuah perusahaan periklanan di Semarang sebagai account executive. “Ketika bekerja di perusahaan iklan itulah pada suatu hari di tahun 1995, saya diminta atasan saya untuk tugas sementara di kantor perusahaan iklan itu yang ada di Jakarta, menggantikan senior saya yang sedang cuti hamil. Saya pun setuju. Karena, sebagai anak muda, saya memang punya keinginan untuk mencari pengalaman di Jakarta atau kota-kota besar lain, bahkan kalau bisa ingin kerja di luar negeri. Saya mulai bekerja di Jakarta pada 5 Februari 1995,” ujar perempuan berbintang Gemini ini.

Rupanya, atasan Wiwid terkesan dengan pencapaiannya selama bekerja di Jakarta. Maka, Wiwid pun diminta untuk tetap bekerja di Jakarta. “Saya setuju, karena saya mendapat kenaikan gaji, tunjangan tempat tinggal, dan tunjangan transportasi ke Semarang setiap tiga minggu. Selain itu, saya memang sangat senang dengan pekerjaan yang perhubungan dengan pemasaran. Jadi, bisa dibilang, saya bekerja di Jakarta sebenarnya secara tidak sengaja,” ungkap istri dari Wahyu Setiadi Waluyo ini.

Sempat orang tuanya meminta Wiwid untuk bekerja saja di Semarang, sebagai pegawai negeri, mengikuti jejak mereka. “Tapi, saya menolak. Karena, saya ingin tetap bekerja di jalur pemasaran, yang dari hari ke hari semakin menarik minat saya,” katanya. Rasa senangnya itu tentu saja berpengaruh positif pada kinerjanya. Buktinya, setelah sekitar empat tahun bekerja di perusahaan iklan itu, salah satu klien perusahaan iklan tersebut, PT Sido Muncul, meminta Wiwid untuk bergabung dengan mereka, tentunya dengan posisi dan fasilitas yang lebih baik daripada perusahaan lamanya. “Saya bergabung dengan Sido Muncul pada Juli 1999. Saya semakin bersemangat bekerja di sini karena setiap bulan harus pergi ke kampung halamannya saya Semarang, tempat pabrik Sidomuncul berlokasi,” tutur ibu dari Daffa Hanandito Nugroho ini.

Menurut Wiwid, apa yang telah ia capai selama ini di Jakarta tidak terlepas dari sikapnya yang selalu mencintai pekerjaannya. “Saya selalu bersemangat dalam bekerja dan konsisten dalam jalur yang saya pilih. Dalam bekerja, saya pun berupaya untuk tetap berkonsentrasi ketika menghadapi pekerjaan yang saya tangani dan meluangkan waktu untuk memikirkan langkah-langkah kreatif yang dapat membawa kemajuan pada pekerjaan saya. Selain itu, saya juga selalu bersikap loyal kepada perusahaan, dalam arti berpikir dan bertindak yang terbaik dan optimal untuk pekerjaan. Dan, di luar pekerjaan, saya tak lupa menyeimbangkan hidup saya, dengan cara bersenang-senang dengan teman-teman saya,” katanya.

Kendati senang bekerja di Jakarta, Wiwid mengungkapkan dirinya kemungkinan akan kembali tinggal di Semarang apabila telah masuk masa pensiun. “Jakarta itu menyenangkan, tapi macetnya itu, lo…. Waktu kita bisa habis di jalan, ha-ha-ha…,” ujar perempuan penyuka parfum Calvin Klein ini.

Natalia S. Tjahja, 36 Tahun, Pemilik Escalibur Travel Service
“Saya Suka Tantangan dan Membantu Orang Lain”

Lulus dari Fakultas Teknik Universitas Parahyangan, Bandung, pada tahun 1993, Natalia langsung pulang ke kampung halamannya, Semarang. “Di Semarang, saya kemudian bekerja di sebuah bank swasta. Namun, setelah sekitar setahun bekerja di sana, saya kemudian hijrah ke Jakarta pada pertengahan tahun 1994. Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya sebagai sarjana teknik sipil, saya bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan teknik untuk pembangunan gedung,” ujarnya. Sekitar setahun bekerja di perusahaan itu, Natalia sudah mengetahui beragam hal tentang peluang bisnis yang bisa ia kerjakan di dunia properti. Maka, pada tahun 1995, ia pun mulai berkiprah sebagai pemasok bahan dan peralatan teknis untuk suatu proyek pembangunan gedung.

Namun, dunia kerja dan dunia bisnis terpaksa ia tinggalkan ketika ia pada tahun 1996 mengikat janji dalam mahligai pernikahan. “Tanggal 5 Juli 1998, saya melahirkan Maria Monique. Dan, setahun kemudian, tahun 1999, didorong oleh keinginan untuk membantu orang, saya mendirikan agen perjalanan di rumah, yang namanya saya ambil dari nama pedang legendaris milik King Arthur, Escalibur,” ungkapnya. Padahal, Natalia mengaku, tak punya pengalaman sama sekali dalam bidang itu. “Saya melakukan usaha ini karena semata-mata tertarik dengan penjualan tiket air line. Karena itu, saya juga tak terlalu memikirkan keuntungan. Saya senang membantu orang. Saya lebih banyak memikirkan pelayanan, servis, kepada orang yang membutuhkan jasa perusahaan kami,” tuturnya.

Dorongan untuk menolong orang lain itulah yang membuat Natalia tak sekadar menjual tiket pesawat terbang. Ia dengan sepenuh hati juga membantu pembeli tiket itu jika mereka mengalami kesulitan dalam perjalanannya. “Saya juga sampai mengurus visa dan sebagainya, yang tak dilakukan oleh agen perjalanan lain. Karena, pada dasarnya, saya juga suka tantangan,” ujar perempuan yang kini berkantor di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan ini. Dengan cara kerja seperti itu, tak mengherankan bila kemudian Escalibur dipercaya untuk mengurus misi dagang Indonesia ke Singapura. “Padahal, waktu itu, Escalibur baru berdiri tiga bulan. Memang, ketika itu, bendera yang dipakai bukan Escalibur, tapi memakai bendera agen perjalan lain,” ungkapnya.

Sejak itulah, Escalibur mulai banyak diminta membantu berbagai misi dagang Indonesia di luar negeri. “Kami pernah membantu misi dagang yang dipimpin Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi waktu itu. Kami juga yang mengurus rombongannya. Jadi, pekerjaan Escalibur ini mirip juga dengan pekerjaan event organiser,” tuturnya. Natalia pun akhirnya berpikir bahwa apa yang ia kerjakan itu memang berbeda dengan pekerjaan travel agent yang ada. “Karena itu, kami lebih suka menyebut Escalibur itu sebagai travel service ketimbang travel agent. Bahkan, kami juga menangani berbagai keperluan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri. Dan, saya benar-benar tak begitu memikirkan profit. Malah, tak jarang saya nombok, mengalami kerugian,” katanya.

Namun, sikapnya yang tidak memikirkan keuntungan itu akhirnya sedikit berubah ketika anak semata wayangnya, Maria Monique, mengembuskan napas terakhir pada 27 Maret 2006 lalu di sebuah rumah sakit di Singapura. “Monique terserang penyakit ganas, yang diawali dengan suhu tubuh yang tinggi. Selama dalam perawatan, Monique sempat mengalami tiga kali mati suri, tetapi kemudian hidup kembali. Dengan sisa hidupnya yang hanya 40 hari, Monique menarik simpati media-media Singapura. The Strait Times Singapura menyebut Monique sebagai The Miracle Child. Namun, Tuhan punya kehendak lain, Dia memanggil Monique pada 27 Maret 2006 lalu. Sebelum wafatnya, ia sempat meminta saya untuk menolong anak-anak yang menderita. ‘Mami, tolonglah anak-anak yang menderita,’ katanya. Monique semasa hidupnya memang anak yang cerdas, ceria, dan suka menolong,” tutur Natalia sambil mengusap air mata. Tepat seratus hari kematian Monique, ketika Natalia sedang menabur abu jenazah putrinya itu, ia kembali teringat pesan terakhir Monique. Maka, ia pun lalu mendirikan Yayasan Maria Monique Last Wish. “Yayasan ini antara lain bertujuan membantu meringankan beban anak-anak berusia 5-15 tahun yang berpenyakit kritis atau berpenyakit kompleks dan mewujudkan keinginan anak-anak seusia itu, yang berasal dari keluarga tak mampu, yang menderita penyakit kritis atau kronis, yang tidak ada obatnya, dan menurut dokter sudah tidak ada harapan hidup lagi tetapi masih punya semangat hidup yang besar. Info lengkap tentang yayasan ini bisa dilihat di www.mariamonique.org,” ujar Natalia bersemangat.

Setelah berdirinya yayasan itulah Natalia mulai lebih serius memikirkan keuntungan bagi Escalibur. “Karena, saya mengalokasikan sebagian dari keuntungan Escalibur untuk kepentingan Yayasan Maria Monique Last Wish. Kini, selain menangani pelanggan individu, kami juga menangani travel service untuk banyak perusahaan dan lembaga pemerintahan, antara lain Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Dalam Negeri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi,” ungkapnya sambil tersenyum. (Pedje)

No comments:

Post a Comment