Thursday, November 26, 2009

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta: “Kalau Budaya Patriarki Tidak Diatasi, Posisi Perempuan Memang Lemah”

Gara-gara polemik tentang poligami seperti bola liar yang sulit dikendalikan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Direktur Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar ke kantornya pada awal Desember lalu. Isu pun berembus: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan di bawahnya (Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 yang direvisi menjadi PP No. 45 Tahun 1990, yang mengatur izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil, PNS) akan direvisi total. Benarkah demikian? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lain seputar poligami, Purwadi Djunaedi dari eve menemui Meutia Hatta yang baru saja mengisi acara bincang-bincang di stasiun radio Delta FM, Jakarta, pertengahan Desember lalu. Berikut petikan perbincangan kami.

Apa benar UU Perkawinan akan direvisi total?
Waktu kami membahas soal poligami dengan presiden, kami diminta oleh presiden untuk mempelajari dulu, melakukan studi dulu, untuk melihat apakah peraturan presiden—bukan undang-undang, ya—bisa dilengkapi lagi, disempurnakan, agar juga mencakup bukan hanya pegawai negeri sipil. Kondisi sekarang kan pejabat negara tidak semuanya pegawai negeri sipil. Karena itu, peraturan presiden tersebut harus ditelaah kembali dan kajian inilah yang ditunggu oleh presiden, untuk nanti ditanggapi secara arif.

Jadi, tidak ada pembicaraan soal UU Perkawinan?
Memang, waktu bertemu dengan presiden tidak dibahas mengenai undang-undang tersebut. Tapi, yang penting adalah melaksanakan peraturan perundangan itu dulu.

Namun, terlepas dari pertemuan tersebut, sudah cukup lama sebenarnya dirasakan bahwa undang-undang itu tidak cukup lagi untuk menjawab permasalahan yang ada. Misalnya soal batas usia perkawinan, yang laki-laki 19 tahun dan yang perempuan 16 tahun. Padahal, pada tahun 2002 lalu lahir Undang-Undang Perlindungan Anak, yang memberi batasan usia anak sampai 18 tahun. Nah, usia perempuan yang 16 tahun dalam UU Perkawinan kan berarti masuk kategori anak-anak dalam UU Perlindungan Anak. Hal-hal seperti itulah yang kami rasakan perlu direvisi. Ini ada proses dan dalam proses itu kami mengundang banyak pihak, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan pakar dalam bidang perkawinan dan anak. Hasil dari pertemuan ini akan kami ajukan ke pemerintah dan pemerintah akan mengajukan ke DPR.

Apakah salah satu hasil dari pertemuan itu mengusung gagasan penolakan terhadap poligami?
Kalau antipoligami tidak. Jadi, keliru kalau ada yang mengatakan bahwa pemerintah akan melarang poligami. UU Perkawinan serta PP No. 10 dan PP No. 45 kan masih berlaku. Undang-undangnya tidak mengatakan demikian. Implementasinya memang parah dan presiden pun melihat hal ini. Karena itulah harus diluruskan, dijalankan sesuai peraturan perundangannya. Tapi, memang, banyak kaum perempuan merasakan perlunya perubahan UU Perkawinan sehingga, ketika mendengar akan ada penyempurnaan PP No. 45, mereka pikir itu merupakan revisi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Apakah Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah membuat studi bahwa poligami menyebabkan banyak korban?
Sudah banyak. Tapi, ya, itu, sering tidak digubris. Kami juga melakukan sosialisasi dengan mengatakan bahwa poligami itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Karena, dari laporan lewat Kotak Pos 10000 yang kami terima, semua kekerasan dalam rumah tangga itu tidak jauh dari poligami.

Tidakkah itu justru memperkuat stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah?
Kalau budaya patriarki tidak diatasi, posisi perempuan memang lemah, setinggi apa pun jabatannya. (Pedje)

No comments:

Post a Comment