Pria boleh saja mendominasi berbagai pekerjaan, mulai dari urusan jasa keamanan sampai memperbaiki mesin pesawat terbang. Tapi, bukan berarti perempuan tak bisa melakukan berbagai pekerjaan tersebut. Keempat perempuan ini telah membuktikannya.
Rina Fahmi Idris, Pengusaha Bisnis Keamanan
“Bisnis Ini Prospektif”
Kalau Anda berkesempatan datang ke kantor PT Universal Security Indonesia di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, jangan heran bila melihat banyak pria kekar di sana. Karena, memang, perusahaan itu bergerak dalam bisnis keamanan. Tapi, mungkin Anda tak pernah mengira kalau perusahaan yang “cenderung maskulin” tersebut ternyata dimiliki dan dipimpin oleh seorang perempuan mungil nan cantik. Namanya Rina Fahmi Idris.
Perempuan kelahiran Jakarta pada 11 Oktober 1972 ini mendirikan PT Universal Security Indonesia pada Mei 2004. “Saya dari dulu memang selalu punya cita-cita untuk menjadi pengusaha atau orang yang menjalankan bisnis secara mandiri. Karena itu, setelah lulus kuliah, saya langsung jungkir-balik untuk mulai berwiraswasta,” ujar desainer interior lulusan Regent Academy of Fine Art, London, ini. Berbagai bidang bisnis pun ia terjuni, antara lain konsultan teknologi informatika, konstruksi, sampai pendidikan. Ibu dari empat anak ini lalu melirik bisnis keamanan juga karena melihat adanya potensi dan prospek bisnis ini untuk berkembang menjadi besar di Indonesia.
“Saat ini masih banyak pihak yang belum menggunakan jasa security. Pengguna utama layanan security saat ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas serta pertambangan, sehingga bisnis ini memiliki prospek yang luar biasa ke depan. Di sisi lain, bisnis security juga sebetulnya mencakup layanan cash management atau kawal angkut uang dan barang berharga, yang semua pemain besarnya merupakan perusahaan asing atau afiliasi dengan asing, sehingga mendorong saya untuk terjun di bisnis ini. Karena, saya berharap bisnis ini merupakan bisnis yang dapat dikuasai oleh perusahaan lokal,” ungkap istri dari Dr. Poempida Hidayatulloh, D.I.C. ini.
Hal lain yang menarik dari bisnis ini, tambah Rina, adalah peran dari security sebagai salah satu penentu business continuity. “Dan itu menjadikan dunia security begitu dinamis,” tutur Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia yang juga pengurus sebuah partai politik ini.
Meski atmosfer maskulin sangat terasa dalam bisnis keamanan yang ia jalani, Rina mengaku tak mendapat hambatan berarti yang berhubungan dengan kodratnya sebagai perempuan. “Justru kendala yang sering saya hadapi adalah soal sulitnya mendapatkan kualifikasi personel yang memenuhi kriteria kami. Kalau yang memiliki kualitas rata-rata memang banyak. Tapi, untuk dapat memberikan layanan terbaik mau tidak mau kami harus menggunakan tenaga atau personel yang berkualitas. Di sisi lain, saat ini, penghargaan terhadap profesi security masih rendah, sehingga mereka yang bekerja di dunia security saat ini bukanlah orang-orang terbaik. Inilah yang mendorong saya untuk membentuk security academy, lembaga pendidikan security pertama di Indonesia yang memiliki standar setingkat program diploma 1. Kenapa mendirikan security academy? Karena, bisnis ini bertumpu pada kualitas sumber daya manusia; dan lewat dunia pendidikan, kualitas tersebut dapat dibangun,” kata perempuan yang mengaku seminggu sekali menjalani spa tubuh total dari kepala sampai jari kaki ini.
Kini, PT Universal Security Indonesia memiliki sekitar 60 pegawai di kantor pusatnya dan ada lebih dari 1.000 orang yang menjadi tenaga security-nya. Layanan yang ditawarkan perusahaan ini meliputi outsourcing security personnel, security consultancy, security auditing, close personal protection, private investigation, asset tracing, dispute mediation, emergency evacuation plan, security infrastructure development (electronic security surveillance), dan layanan cash management, yang terdiri dari cash in transit, cash replenishment & first line maintenance ATM, dan cash processing.
Zuriati Akmam, Aircraft Engineer
“Saya Harus Siap Dipanggil Kapan Saja”
Di Indonesia, mungkin Zuriati-lah satu-satunya perempuan yang paham benar soal rangka pesawat, terutama pesawat Airbus A330 dan Boeing DC-10. Maklumlah, karena pekerjaan sebagai aircraft engineer jarang diminati kaum Hawa. Zuriati pun di PT GMF AeroAsia tempatnya bekerja selama ini merupakan satu-satunya perempuan yang menduduki posisi aircraft engineer. “Posisi saya saat ini aircraft engineer grade 3, sudah sekitar tiga tahun. Posisi grade 3 merupakan posisi terakhir. Saya menangani pesawat Airbus A330 dan Boeing DC-10. Salah satu tugas saya adalah memberikan solusi jika ada masalah, dari sisi strukturnya, rangka pesawatnya,” ujar sarjana teknik mesin lulusan Universitas Andalas, Padang, ini.
Lajang kelahiran Bukittinggi pada 17 September 1968 ini mengaku tidak sengaja masuk ke dunia aircraft engineering. “Setelah menyelesaikan kuliah S-1 teknik mesin, saya merantau ke Jakarta dengan maksud mencari pekerjaan. Dan saya menggunakan buku kuning Telkom untuk mencari alamat-alamat perusahaan yang dituju, yang sesuai dengan bidang saya. Salah satu surat lamaran saya masukkan ke Garuda, yang saat itu memiliki divisi teknik. Tes masuk di Garuda cukup lama, sekitar enam bulan, dengan delapan atau sembilan tahapan tes, yang menggunakan sistem gugur. Setelah diterima dan ditempatkan di engineering department saat itu, saya masih diberi kesempatan memilih unit mana yang disukai. Saya pun lalu memilih unit structure. Alasannya, jika ada problem, struktur masih dapat dihitung untuk perbaikannya. Sementara itu, untuk unit lainnya, seperti powerplant atau system, kita harus jago trouble shooting, yang sudah pasti harus berpengalaman,” kata anak ketiga pasangan Nur Akmam dan Nurmi ini.
Karena pekerjaannya berhubungan dengan teknologi yang selalu berkembang, Zuriati harus siap mengikuti berbagai pelatihan, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. “Juga harus siap dihubungi kapan saja jika pesawat ada problem. Kalau ada problemnya di luar negeri, ya, harus segera berangkat ke luar negeri. Bahkan, kadang, untuk membeli komponen pesawat, saya harus ke luar negeri. Itulah salah satu hal yang menarik dari pekerjaan ini, bisa mengunjungi berbagai negara. Tapi, dari semua pengalaman ke luar negeri, yang paling berkesan adalah ketika saya untuk pertama kalinya mengikuti pelatihan di Long Beach, Amerika Serikat. Waktu itu, saya baru pertama kali naik pesawat dan penerbangannya memakan waktu hampir 20 jam,” ungkap perempuan yang pernah bekerja di pabrik pipa ini.
Menurut Zuriati, selama ini ia tak pernah mengalami kendala dalam bekerja di lingkungan yang didominasi kaum Adam. “Mereka semuanya baik dan kami bekerja sesuai dengan tanggung jawab masing-masing,” ujar Zuriati.
Ni Luh Sinta Darmariyani, Atlet Angkat Besi
“Ingin Langsing Juga”
Inilah perempuan yang mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional beberapa bulan lalu. Ia menjadi juara kedua dalam kejuaraan angkat besi yunior dunia di Cina. Dan, bukan sekali itu saja Ni Luh Sinta Darmariyani menorehkan prestasi di tingkat internasional. Beberapa kali atlet asal Bali ini meraih medali emas pada kejuaraan angkat besi internasional. “Saya mulai latihan angkat besi pada tahun 1997 dan pertama kali ikut kejuaraan nasional pada tahun 2000. Pada kejuaraan nasional itu, saya mendapat tiga emas,” kata perempuan kelahiran Denpasar, 22 Desember 1986, ini.
Sinta menggeluti olahraga “kaum pria” ini karena awalnya senang melihat ayahnya berlatih angkat berat. Sang ayah memang atlet angkat berat Bali. “Tadinya, saya berlatih yudo. Tapi, karena sering diajak ke tempat latihan Ayah, lama-kelamaan saya senang dengan olahraga angkat berat dan angkat besi. Maka, saya pun minta izin Ayah untuk berlatih angkat besi. Padahal, waktu itu, saya baru kelas 5 SD,” ujar Sinta.
Sang ayah pun mengizinkan. Begitu pula ibunya. Tapi, teman-teman sekolahnya yang akhirnya tahu Sinta berlatih angkat besi sering mengolok-olok. “Sampai SMA, saya sering diledek dan sering diajak adu panco sama teman-teman cowok. Makanya, teman-teman saya akhirnya kebanyakan, ya, laki-laki,” ungkap Sinta.
Bagi Sinta, angkat besi juga memiliki keindahan tersendiri. “Kan, untuk bisa mengangkat beban dengan mulus tak bisa dengan sembarang gerakan. Di situlah seninya. Selain itu, di cabang olahraga ini, saya selalu tertantang untuk bisa mengangkat besi lebih berat lagi, lebih berat lagi, terutama kalau berhasil mengangkat besi dengan mulus,” tuturnya.
Ia memang berkeinginan untuk menorehkan prestasi di berbagai kejuaraan angkat besi dunia. Apalagi, angkat besi jarang diminati oleh perempuan Indonesia. Karena itu, wajar saja jika anak pertama dari dua bersaudara ini sangat giat dan disiplin dalam berlatih. Sinta pun tak menghiraukan kalau bentuk tubuhnya jauh dari langsing, seperti banyak diidamkan perempuan umumnya. “Sebagai perempuan, saya juga mau punya tubuh langsing. Tapi, saya kan atlet angkat besi kelas berat, jadi harus makan banyak dan teratur untuk mendapatkan energi. Jadi, bagi saya sekarang ini, yang penting adalah mencetak prestasi sebanyak mungkin. Buat apa langsing kalau tak berprestasi?” ujar perempuan yang berkeinginan menjadi pelatih angkat besi di hari tuanya kelak ini.
Sinta kini sedang mengikuti pelatihan nasional di Senayan, Jakarta, untuk menghadapi SEA Games mendatang. “Saya di Jakarta sejak bulan Mei lalu. Kami tak ditargetkan apa-apa dalam SEA Games nanti. Yang penting berlatih dengan benar, termasuk melatih mental agar tak demam panggung dan dapat mengalahkan rasa takut dalam diri sendiri. Dalam angkat besi, latihan mental itu juga memegang peranan penting,” tutur perempuan yang lebih suka menghabiskan waktu senggangnya dengan tidur dan mendengarkan musik ini.
Dian Melani, Mekanik Pesawat Angkut Militer
“Pekerjaan Ini Luar Biasa”
Di Skuadron Teknik Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Sersan Kepala Dian Melani adalah satu-satunya perempuan yang berprofesi sebagai mekanik pesawat. “Karena di Halim ini yang ada hanya pesawat angkut, ya, saya mekanik pesawat angkut militer. Saya sudah sepuluh tahun menjadi mekanik pesawat di Halim, sejak lulus pendidikan kejuruan Wanita Angkatan Udara, Wara, tahun 1996,” ujar Dian Melani.
Tadinya, ada sepuluh perempuan yang satu angkatan Melani dalam pendidikan kejuruan mekanik TNI Angkatan Udara. “Namun, dari sepuluh perempuan itu, yang masih tetap menjadi mekanik kini hanya saya sendiri,” ujar ibu dari dua putra ini.
Awalnya, Dian menjadi Wara hanya karena ingin membantu orang tua. “Saya lulus SMA tahun 1994. Tadinya ingin kuliah. Tapi, karena ingin segera bisa membantu orang tua, saya akhirnya lebih memilih kerja. Saya bekerja di sebuah toko elektronik di Solo, Jawa Tengah,” kata perempuan kelahiran Solo pada 9 Desember 1975 ini.
Suatu hari di tahun 1995, Dian mendengar pengumuman penerimaan calon Wara di Yogya. “Saya pun mencoba mendaftar, walau saya sebelumnya tak pernah melihat Wanita Angkatan Udara itu seperti apa,” ujar perempuan yang hobi naik gunung sewaktu masih di SMA ini. Ia pun mendaftar dan lolos saringan pertama. “Setelah itu, saya menjalani pendidikan dasar selama lima bulan. Pada akhir pendidikan, saya dan teman-teman menjalani tes psikologis. Hasilnya, saya bersama sembilan teman dianjurkan untuk melanjutkan pendidikan kejuruan di bidang mekanik. Padahal, saya inginnya jadi provos, polisi militer,” kata istri dari Sri Hartono ini.
Dian mengaku sempat takut juga menekuni bidang mekanik. “Selain karena sebagian besar personelnya adalah laki-laki, pekerjaannya kelak saya bayangkan berisiko tinggi. Apalagi, mesin pesawat dan komponennya kan mahal,” ujar perempuan yang gemar memasak dan mengutak-atik mobil untuk mengisi waktu senggangnya ini. Namun, rasa takut itu akhirnya sirna seiring berjalannya waktu.
“Setelah lulus pendidikan, saya langsung ditempatkan di Halim. Pekerjaan pertama saya ketika itu adalah ikut memperbaiki mesin pesawat CN 235. Saya sempat stres karena mematahkan sebuah baut dan para senior saya menakut-nakuti bahwa kerusakan mesin pesawat itu semakin parah gara-gara baut patah itu, ha-ha-ha...,” tutur Dian.
Rasa takut juga sempat muncul dalam diri Dian waktu ia ditugaskan ke Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. “Ketika itu kan daerah Aceh sedang bergolak, karena adanya Gerakan Aceh Merdeka. Begitu turun dari pesawat saja kami langsung dikawal dengan pasukan bersenjata berlaras panjang. Tadinya, karena saya satu-satunya perempuan, saya akan ditempatkan di mess di tengah kota. Wah, saya tidak mau, saya takut. Tentara juga kan manusia, punya perasaan takut. Akhirnya saya lebih memilih menginap di barak bersama para lelaki tentara,” ungkapnya.
Ketika ditemui eve, Dian baru saja mengikuti pendidikan juru mesin udara untuk pesawat Fokker 23. Artinya, kalau lulus, Dian akan lebih banyak bertugas di udara ketimbang di darat. Setiap kali pesawat itu terbang, ia harus ikut, sebagai air crew. “Bagi saya, pekerjaan sebagai mekanik pesawat ini adalah pekerjaan yang luar biasa,” ujarnya. (Pedje)
No comments:
Post a Comment