Wednesday, November 18, 2009

Siapa yang Berhak Mengasuh Anak?

Bagaimana sebaiknya seorang perempuan menjalani perannya sebagai seorang ibu setelah kehilangan hak asuhnya?


Urusan hak asuh anak kadang bisa bikin repot banyak pihak. Lihat saja bagaimana Komisi Nasional Perlindungan Anak melaporkan soal masalah rebutan pengasuhan anak antara Zarima Mirafsur dan Ferry Juan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya, kata Ketua Bidang Sosialisasi dan Advokasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Kusumo Priyono, persoalan tersebut sudah mengarah ke persoalan hukum. “Kalau hak tumbuh kembang anak sering dieksploitasi, itu namanya penelantaran terhadap anak. Kalau memang terbukti menelantarkan anak, berikan sanksi secara tegas,” kata Kusumo seperti dikutip sebuah media.

Seperti kita ketahui, persoalan perebutan anak antara Zarima dan Ferry mencuat ke publik ketika Zarima mengatakan kepada pers bahwa anaknya, Nikita, telah diculik Ferry. Bukan hanya itu, Zarima juga melaporkan pengacara yang mantan kekasihnya tersebut kepada polisi. “Ia dirampas, disandera oleh Ferry Juan,” kata Zarima pada pertengahan Januari lalu kepada banyak wartawan.

Tentu saja Ferry Juan membantah. Menurut dia, dirinya tidak menculik Nikita karena ia secara sah memiliki Surat Ketetapan Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat, yang menyatakan hak asuh Nikita ada di tangannya. “Ini bukan penculikan. Nikita anak saya secara sah. Surat ketetapan soal hak asuh anak keluar tanggal 19 ini,” ungkap Ferry, yang menggelar jumpa pers untuk membantah pernyataan Zarima pada Kamis malam, 19 Januari lalu, di sebuah restoran di Jakarta. Selain surat dari pengadilan negeri itu, pada konferensi pers tersebut Ferry juga menunjukkan sebuah surat bertanggal 12 Mei 2002 yang berisi pernyataan Zarima bahwa benar Nikita adalah anak Ferry.

Menurut keterangan Zarima, dirinya dan Ferry bukanlah suami-istri. Mereka hanya pernah berpacaran, lalu putus. Ketika berpacaran itulah, menurut pengakuan Zarima, Ferry menyebut dirinya “papa” kepada Nikita. Bukan hanya itu, Ferry kemudian malah membuatkan akta kelahiran Nikita, yang mencantumkan namanya sebagai ayah Nikita.

Zarima mengaku baru tahu soal akta itu setelah kasusnya mencuat ke publik. Ia juga mengatakan bahwa Ferry Juan bukanlah ayah biologis Nikita. Ferry sendiri menyatakan bahwa dirinya tak tahu siapa ayah kandung Nikita. “Soal siapa ayah kandungnya, saya tidak tahu,” tutur Ferry.

Berbeda halnya dengan pasangan artis Five Vy dan Iwan Setyabudiman. Mereka resmi menikah dan kemudian dianugerahi seorang anak, Bilqis Emelegis, yang kini berusia hampir tiga tahun. Namun, dalam perjalanan rumah tangga mereka, Five Vy mengaku sering dianiaya oleh suaminya, termasuk ketika sedang hamil besar. Bahkan, Five Vy pun pernah disekap selama lima hari oleh suaminya itu di sebuah rumah kontrakan, yang Five Vy tak ketahui di mana letaknya. “Sampai anak kami lahir, perilakunya tidak berubah. Karena tak tahan, saya akhirnya melaporkan dia ke polisi dan kemudian diproses di pengadilan. Dia dijatuhkan hukuman percobaan selama enam bulan. Artinya, dia baru akan dipenjara kalau dalam rentang waktu enam bulan itu kembali menganiaya saya,” ungkap Five.

Untuk mengatasi konflik yang terjadi di antara keduanya, keluarga besar masing-masing pihak pun berkumpul di rumah saudara Five Vy di Malang, Jawa Timur. “Tapi, setelah pertemuan itu, ternyata Bilqis dibawa ayahnya. Saya sempat melapor ke polisi karena menurut saya waktu itu Bilqis diculik oleh ayahnya, karena diambil tanpa seizin saya. Tapi, polisi menolak laporan saya karena yang membawa Bilqis adalah ayahnya sendiri dan belum ada keputusan pengadilan yang menetapkan bahwa sayalah yang berhak mengasuh Bilqis,” kata Five Vy dengan dana sendu.

Five akhirnya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. “Agar proses perceraiannya berjalan cepat, tidak berlarut-larut, hakim menyarankan agar proses peradilannya tidak dicampur dengan masalah hak asuh anak. Kalau dicampur, menurut hakim itu, bisa memakan waktu lama, bisa dua-tiga tahun,” tutur Five Vy. Ia pun lalu mengikuti saran tersebut dan terpaksa membiarkan anaknya diasuh oleh ayahnya, mantan suami Five Vy.

Pengadilan sendiri tetap memperbolehkan Five Vy berjumpa dengan anaknya. “Kalau di awal-awal, ketika saya mau bertemu dengan Bilqis merasa perlu menelepon dulu, sekarang tidak lagi. Saya datang saja. Karena, kalau saya menelepon, sering dikatakan Bilqis sedang tidak ada di rumah,” ujar perempuan kelahiran 12 September 1979 yang senang memakai parfum Victoria’s Secret ini. Namun, tambah Five, ketika sedang berjumpa dengan anaknya ada saja gangguan di rumah itu. “Misalnya, ketika saya datang, teman-teman anak saya diundang juga untuk datang, sehingga saya tak bisa berduaan dengan Bilqis,” katanya.

Five Vy mengaku sampai kini masih trauma dengan proses perceraian yang ia jalani beberapa bulan yang lalu. Karena itulah ia masih belum mau mengajukan masalah hak asuh ke pengadilan. “Saya sedang menyiapkan mental dulu, walau saya sebenarnya sangat merindukan Bilqis. Saya selalu memikirkan dia, terutama kalau melihat anak kecil, sampai-sampai saya menjadi sulit tidur,” kata Five Vy.

Berat, memang, berpisah dengan anak. Tapi, bagaimana sebenarnya hukum di Indonesia melihat persoalan hak asuh itu? Menurut Mira Stephanie, S.H. dari Firma Hukum VBL, Jakarta, urusan pengasuhan anak korban perceraian di Indonesia antara lain telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikenal sebagai Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Intinya, perceraian yang terjadi pada kedua orang tua si anak tak boleh mengabaikan hak-hak anak, antara lain hak untuk mendapat pengasuhan, dibesarkan, dan hak mendapat pendidikan dari orang tuanya. Jadi, pasangan yang telah bercerai tetap punya kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak mereka.

Bila terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak setelah perceraian, pengadilan yang akan memutuskan siapa yang paling berhak. “Pengadilan akan memutuskan siapa yang dianggap mampu mengurus anak itu. Mampu di sini berarti mampu secara ekonomi, sosial, dan sebagainya,” kata Mira. Sementara itu, tambah Mira, dalam kasus seperti yang dialami artis sinetron Five Vy, karena belum ada ketetapan pengadilan mengenai siapa yang berhak mengasuh Bilqis, mestinya baik Five Vy maupun mantan suaminya tetap sama-sama punya hak asuh.

Hak asuh yang telah ditetapkan pengadilan bahkan dapat digugat kembali lewat pengadilan juga jika ternyata sang pemilik hak asuh dianggap oleh mantan istri atau mantan suaminya tak mampu mengurus anak mereka. Misalnya, jika ternyata hak asuh Bilqis jatuh ke tangan ayahnya tapi kemudian Five Vy memiliki bukti bahwa mantan suaminya itu melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak, Five Vy dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapat hak asuh atas Bilqis. “Kalau kemudian sang ayah kehilangan hak asuhnya, si ayah tetap punya kewajiban untuk membiayai si anak yang masih di bawah umur sampai sang ibu dianggap mampu, misalnya sang ibu mendapat pekerjaan yang layak atau telah menikah kembali,” ungkap Mira.

Kalau untuk kasus Zarima dan Ferry Juan, Mira Stephanie berpendapat mestinya kasus itu dilihat dengan aturan hukum yang berbeda jika memang keduanya tak pernah menikah sebelumnya. “Urusan pengasuhan anaknya mestinya memakai aturan mengenai adopsi, karena tak pernah ada ikatan pernikahan sebelumnya antara Zarima dan Ferry Juan. Bahkan ayah biologis dari seorang anak pun tetap harus mengikuti aturan pengadopsian jika ingin mengasuh anaknya, yang dilahirkan sebelum terjadi pernikahan. Karena, anak yang lahir di luar pernikahan terikat pada ibunya,” tutur Mira.

Dilihat dari kacamata psikologi, psikolog Rosdiana Tarigan berpendapat, ketika terjadi perceraian, sebaiknya anak diasuh oleh orang yang benar-benar mampu untuk mengurus si anak, siapa pun dia. “Jadi tak mesti orang tuanya. Karena, kalau orang tuanya tidak cepat memecahkan masalah mereka pasca-perceraian, masalah itu akan berdampak buruk bagi si anak, misalnya si anak tak mendapat perhatian atau malah dimanja berlebihan. Lagi pula, kedua pasangan yang bercerai itu sebenarnya kan sedang butuh pertolongan juga secara psikologis. Jadi, idealnya, anak diasuh oleh orang-orang yang mencintai dia dengan tulus dan bisa mengurus dia dengan baik, artinya bisa memberi simulasi yang baik, baik secara kognitif, psikologis, mengajarkan emosi yang baik, dan mengajarkan tanggung jawab yang baik,” kata psikolog lulusan Universitas Indonesia yang kemudian melanjutkan studinya di Australia ini. Kendati demikian, tambah Rosdiana, yang paling baik sebenarnya anak itu diurus oleh orangtuanya sendiri, apabila orang tuanya sudah bisa mengatasi masalah mereka sendiri.

Jika ternyata pengadilan memutuskan hak asuh ada pada ayahnya, kemungkinan besar pada awalnya si anak akan mengalami kesulitan beradaptasi kalau ia tadinya lebih dekat kepada ibunya. “Tapi, kalau sehari-harinya dia dekat dengan ayah, kemungkinan besar dia tak terlalu kaget jika diasuh ayahnya. Yang penting, ayahnya dapat menjalani peran ganda sebagai ayah sekaligus sebagai ‘ibu’. Sang ayah menjadi kepala keluarga yang harus juga menjalani tugas-tugas domestik pengasuhan anak yang selama ini umumnya dilakukan oleh mantan istrinya,” ujar Rosdiana.

Untuk ibu yang kehilangan hak asuhnya, Rosdiana menyarankan agar tak menampakkan emosi berlebihan bila mendapat kesempatan bertemu dengan anaknya. “Si anak jangan juga dimanjakan, dengan alasan apa pun. Karena, mungkin saja, didorong oleh rasa kangen yang besar atau perasaan bersalah kepada si anak, lalu sang ibu terdorong untuk memanjakan anaknya,” kata psikolog yang berpraktik di Klinik Mutiara Gading, Jakarta, ini. Lebih baik sang ibu tetap menjalankan tugas keibuan seperti biasa saja ketika bertemu anaknya itu. Lakukan hal-hal menyenangkan yang biasa dilakukan bersama dulu, misalnya suka membaca bersama-sama atau melakukan permainan yang biasa dilakukan bersama. Kualitas pertemuan memang harus diutamakan, karena itu sebaiknya antara sang ibu dan sang anak melakukan aktivitas berdua saja.

“Namun, sekali lagi harus diingat, kalau sayang anak, jangan dimanjakan, apa pun kondisinya. Karena, anak manja akan menjadi egois. Kalau dia egois, perkembangan kecerdasan emosionalnya akan menjadi tidak baik, sehingga kemungkinan dia kelak tidak akan sukses dalam kehidupannya. Tak usah jauh-jauhlah mengambil contoh. Ketika si anak egois ini berada di sekolah, misalnya, seberapa banyaknya sih dari teman-temannya di kelas yang mau menuruti kemauan dia? Belum tentu ada satu, karena dia tidak disukai teman-temannya. Kasihan, kan? Kalau begitu terus sampai SMP, SMA, dan masa kuliah, ini akan menjadi masalah besar. Karena, si anak pada masa-masa itu kan sudah punya kebutuhan untuk punya teman. Dia juga kemungkinan besar sulit menemukan pasangan karena egonya tinggi,” kata Rosdiana.

Demi kepentingan anak, pasangan yang bercerai sebaiknya masing-masing tak saling menjelekkan satu sama lain. “Dengan begitu, anak punya gambaran bahwa meski ayah dan ibunya tidak lagi serumah, dia masih memiliki mereka berdua. Ini sulit sekali memang, tapi sebaiknya dilakukan biar anak tak berada dalam kebingungan,” tutur Rosdiana.

Seiring dengan itu, Rosdiana juga menyarankan agar si ibu yang kehilangan anak asuhnya agar meminta kesepakatan ulang kepada mantan suaminya mengenai jadwal pertemuan dengan sang anak. “Mintalah tambahan waktu kunjungan atau tambahan waktu untuk menelepon anak itu. Karena, si anak pasti punya rasa kangen kepada ibunya,” ujar psikolog yang juga menjadi manajer program di Radani Edutainment ini.

Ketika si anak dianggap sudah dapat mengerti persoalan yang dihadapi orang tuanya, katakanlah apa adanya soal perceraian itu kepada si anak. “Tapi, ya, itu tadi, jangan menjelek-jelakkan mantan pasangan. Katakan juga kepada si anak bahwa perceraian yang terjadi bukan karena salah si anak. Ini penting, karena anak korban perceraian punya kecenderungan menyalahkan dirinya atas terjadinya perceraian pada orang tuanya,” kata Rosdiana Tarigan. (Pedje)


Agar Ibu Tak Kehilangan Hak Asuh

Berikut ini saran dari Mira Stephanie, S.H. agar seorang perempuan yang bercerai mendapat hak pengasuhan anak.

  1. Jangan melakukan perzinaan.
  2. Jangan meninggalkan kewajiban sebagai istri sebelum resmi bercerai.
  3. Tahan emosi. Jangan meninggalkan rumah, meninggalkan anak dan suami, lalu pindah ke tempat tinggal lain ketika sudah tak tahan menjalani hidup dengan suami. Kalau suami melakukan tindak kekerasan, laporkan saja kepada pihak kepolisian.
  4. Ibu dapat kehilangan hak asuhnya bila ia seorang pecandu alkohol, narkotika, dan zat adiktif lainnya.
  5. Ibu juga dapat kehilangan asuhnya bila secara mental diragukan mampu mengasuh anaknya. (Pedje)


No comments:

Post a Comment