Sunday, November 8, 2009

Mereka Prihatin, Peduli, dan Kemudian Mendirikan Sekolah

Ketiga perempuan ini mencoba memberikan kontribusi positif bagi Indonesia, terutama untuk dunia pendidikannya. Bagaimana dengan Anda?


Shelomita, 32, Pemilik Semi-homeschooling Langkahku
“Kami Percaya, Kemampuan Setiap Anak Berbeda-beda”

Kalau Anda menanyakan soal pitch control kepada penyanyi Shelomita, dia pasti akan bisa menguraikan hal-ihwal titi nada tersebut dengan fasih. Begitu juga kalau Anda menanyakan siapa itu Sigmund Freud, siapa itu Carl Gustave Jung, apa yang dimaksud dengan istilah kecerdasan majemuk, istilah tugas perkembangan, dan istilah usia emas pada seorang anak. Karena, selain penyanyi, Shelomita adalah sarjana psikologi lulusan Universitas Indonesia, yang tentu akrab dengan nama-nama tokoh psikologi dan berbagai istilah dalam ilmu jiwa itu.

Dia lulus Fakultas Psikologi UI tahun 1999. Dan, setahun kemudian, bersama dua teman kuliahnya, ia bersepakat untuk mendirikan pre-school. “Kami memilih pre-school karena anak-anak pada usia 1 sampai 5 tahun kan dalam masa usia emas, golden age. Pada masa ini, kapasitas memori otak manusia lagi besar-besarnya untuk menerima segala rangsangan, jadi harus dimaksimalkan pengisiannya, yang sebisa mungkin positif agar output-nya positif juga,” ujar istri dari Arya Fajar Faisal Diah ini. Selama setahun setelah kesepakatan itu, mereka menggodok program pembelajaran untuk pre-school yang akan mereka dirikan. “Kami dibantu oleh mantan dosen kami, Mbak Dini Tjokropranolo. Mbak Dini-lah yang mengevaluasi setiap program yang kami buat,” ujar putri artis Marini yang akrab disapa Mita ini.

Sayangnya, ketika mencari lokasi untuk pre-school itu, mereka tak menemukan yang cocok, padahal sudah berbagai penjuru Jakarta ditelusuri. “Ternyata susah sekali menemukan lokasi yang indoor dan outdoor-nya sama bagusnya. Ada outdoor-nya bagus, eh, lingkungannya tercemar polusi,” kenang Mita. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, rencana itu akhirnya sempat terlupakan. “Sampai suatu hari, ketika salah seorang dari kami pulang umrah, ia mengingatkan saya untuk membuat sesuatu yang berarti bagi orang banyak selagi masih diberi kesempatan hidup. Saya pun jadi berpikir. Dan, kebetulan, saya kemudian bertemu dengan teman saya yang lain, yang kurang bisa menerima dengan pengajaran guru di sekolah anaknya. Ketika itu juga saya langsung terpikir tentang homeschooling,” ungkap ibu dari tiga orang anak ini.

Ia pun mendiskusikan dengan teman-temannya lagi dan kemudian sepakat mendirikan semi-homeschooling yang diberi nama Langkahku pada tahun 2002. Programnya, ya, yang sudah mereka godok itu, yang kemudian diberi nama Have Fun Program, untuk anak-anak prasekolah. “Programnya kami namakan seperti itu karena karena penekanannya pada fun-nya. Kan, anak yang berusia 1-5 tahun tidak wajib belajar. Jadi, mereka tetap bermain, tapi permainannya mendidik. Awalnya, muridnya hanya delapan anak, yang semuanya anak teman-teman kami,” kata Mita.

Rupanya, anak-anak itu senang mengikuti program tersebut, sehingga akhirnya banyak orang tua yang memercayakan pendidikan anaknya ke Langkahku, selain di sekolah formal. “Kami memang menerapkan pola pendidikan satu guru untuk satu anak, karena kami percaya bahwa kemampuan setiap anak berbeda-beda. Dan, pendidikan di Langkahku memang semacam suplemen dari pelajaran-pelajaran di sekolah,” tutur Mita.

Atas desakan banyak orang tua, sejak tahun 2003 lalu, Langkahku membuka dua program baru, yakni program skolastik untuk anak yang ingin masuk SD, dengan penekanan pada perangsangan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung. Yang satu lagi adalah program yang diberi nama Langkahku Mengenal Islam (LMI). “Landasan LMI adalah pengenalan terhadap Allah terlebih dulu, mencintai Allah, mengagumi Allah, sehingga diharapkan mereka mau belajar dengan senang hati. Dan, sejak tahun 2005, pihak Depdiknas memantau dan mengakui keberadaan kami. Kami juga kemudian dibantu dua teman kami, Loemongga dan Mira,” kata Mita, yang kini sedang mencoba menyelesaikan membaca buku karya Osho, Love, Freedom, Aloneness: The Koan of Relationships.

Langkahku
Jalan Bakti No. 24, Senopati, Blok S., Jakarta Selatan
Telepon (021) 72790023



Dewi Hughes, 36, Pemilik e-Hugheschooling
“Ada Sesuatu yang Luput dalam Sistem Belajar Anak-Anak Kita”

“Wah, untung tadi saya enggak membawa anak saya ke sini. Kalau dia tadi dengar penjelasan Mbak Hughes, bisa tertarik dia untuk ikut bergabung di sini,” ujar seorang ibu yang menghadiri acara open house e-Hugheschooling di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mendengar itu, Hughes tertawa lebar. “Begitulah kebanyakan orang tua di Indonesia, selalu menjadikan anak sebagai obyek, bukan subyek. Di sekolah ini, anak-anak memang kami perlakukan sebagai subyek, sehingga diharapkan mereka nanti dapat memaksimalkan berbagai kecerdasan yang ada dalam diri mereka, memiliki keterampilan hidup yang tinggi, dan tidak terasing dengan lingkungannya,” jawab Hughes.

e-Hugheschooling adalah homeschooling yang baru didirikan presenter dan bintang iklan Dewi Hughes bersama teman dekatnya, Roy Immanuel. “Sekolah presenter cilik yang di Cipete sudah saya tutup. Saya sekarang konsentrasi di sini. Saya dan Roy membuat sekolah ini karena prihatin dengan kemampuan anak-anak, terutama yang lulusan SMA, yang tak siap memasuki dunia kerja. Mereka enggak punya skill. Ketika saya bikin iklan lowongan pekerjaan untuk lulusan S-1 yang fresh graduated tahun 2005, untuk posisi di event organizer, butik, dan sekolah presenter saya dulu, tak ada satu pun pelamar yang tahu apa yang akan mereka kerjakan nantinya. Mereka tak tahu job desk posisi yang mereka lamar. Misalnya, apa yang dikerjakan koordinator event, mereka tak tahu. Selain itu, mereka juga umumnya kurang santun. Dari sanalah saya mulai berpikir, ada sesuatu yang luput dalam sistem belajar anak-anak kita. Mereka sepertinya hanya diajarkan untuk menjadi robot, sehingga mereka hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan orang. Tak ada inisiatif. Anak-anak yang kreatif langka. Saya pun berdiskusi dengan Roy dan kemudian sepakat untuk membuka model homeschooling yang kami beri nama e-Hugheschooling. Dalam sekolah ini, kami mengeksplorasi keterampilan hidup, karena anak-anak kita selama ini kurang tahu dunia luar, dunia nyata,” ujar Duta Antiperdagangan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan ini.

Hughes sendiri menamakan metode pembelajaran di sekolahnya sama dengan nama sekolahnya: e-Hugheschooling. “Ini merupakan metode minat, bakat, dan potensi anak dan kemudian dibuat program khusus untuk anak itu. Jadi, di sekolah ini, setiap anak menjalani program yang berbeda-beda, tapi kurikulum yang standar seperti sekolah formal tetap ada,” ungkap sarjana pendidikan untuk bidang bahasa Inggris ini.

e-Hugheschooling memfasilitasi pendidikan homeschooling untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kecintaan untuk belajar sepanjang hayat, menjadi orang yang tangguh, dan dapat menjawab tantangan dalam hidupnya. “Kami juga memanfaatkan fasilitas-fasilitas publik yang ada sebagai sarana pendidikan dan belajar,” ungkap Hughes. Dalam mengelola sekolah ini Hughes dan Roy antara lain dibantu oleh pakar dan praktisi pendidikan Bunda Lusia Sutanto dan juga oleh Kak Kresno. “Kami menyelenggarakan bimbingan, layanan, dan bantuan profesional kepada peserta didik dan keluarga secara berkala, guna pencapaian tujuan pendidikan yang diberikan kepada anak. Termasuk di dalamnya dampingan psikologis, mulai dari penggalian potensi yang dimiliki anak, pemberian perlakuan yang sesuai dengan karakteristik minat dan bakat anak, hingga pengembangan konseling karir untuk profesi yang dipilih anak,” ungkap perempuan yang ayahnya juga seorang guru ini.

Meski baru saja dibuka, murid e-Hugheschooling kini sudah ada 16 orang. “Pendaftaran di sekolah ini memang tak perlu menunggu datangnya tahun ajaran baru. Setiap saat bisa. Sekolah ini oleh Departemen Pendidikan Nasional dijadikan pilot project untuk sekolah berbasis elektronik dan kedudukannya sama dengan sekolah formal. Ini pendidikan kesetaraan,” ujar Hughes.

e-Hugheschooling
La Piazza Lantai 2 No. 3 A, Sentra Kelapa Gading
Jalan Bulevar Blok M, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Telepon (021) 45865008
http://www.e-hugheschooling.com



Linda Wijaya, 42, Pemilik Sunshine Preschool
“Awalnya Muridnya Hanya 7, 2 Anak Kami dan 5 Anak Teman-Teman Kami”

Orang tua mana yang tak ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah yang berkualitas? Begitu pula dengan Linda Wijaya, yang pada tahun 1990-an memiliki seorang balita berusia 3 tahun-an. “Saya melihat sekolah internasional bagus sekali kualitasnya. Anak-anak di sekolah internasional aktif, suasananya beda. Mereka tidak diharapkan duduk terus, tapi aktif bergerak, membuat kelompok, berdiskusi, mengambil buku di perpustakaan dan membahasnya bersama guru mereka. Sayangnya, mahal sekali biayanya, saya tak mampu,” ujar Linda.

Pada tahun 1990-an itu, meski telah mengantungi ijazah sekolah bisnis dari Singapura, Linda justru bekerja sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak. “Dari kecil sebenarnya saya suka anak-anak dan mengajar. Itulah sebabnya saya akhirnya menjadi guru TK dan setelah mengajar selama tiga tahun, saya jadi punya keinginan punya sekolah sendiri,” ungkap Linda.

Dia pun lalu menceritakan keinginannya kepada beberapa temannya, termasuk keinginan memasukkan anaknya ke sekolah internasional. “Ternyata teman-teman saya juga punya keinginan serupa. Akhirnya, kami sepakat untuk membuat preschool nasional plus. Kami berlima membuat persiapan enam bulan, antara lain untuk mencari lokasi dan melihat-lihat sekolah lain. Ketika itu, sekolah nasional plus masih sangat jarang. Salah satunya Sekolah Kartini, yang kepala sekolahnya orang Amerika. Dia baik sekali dan sangat senang kalau ada orang yang ingin membuat sekolah. Kami pun akhirnya banyak belajar dari sana,” kata Linda. Keempat teman Linda yang lain adalah Clarissa B. Subagyo, Michelle Sugito, Afi Samara, dan Rosella Sutadisastra.

Akhirnya, pada tahun 1994, berdirilah Sunshine Preschool di sebuah rumah milik Afi Samara. “Awalnya muridnya hanya tujuh anak, dua anak kami dan lima anak teman-teman kami. Yang mengajar kami sendiri, empat orang, karena salah seorang teman kami ketika itu bekerja di Jakarta Internasional School. Walaupun tidak mengajar, dia banyak memberikan informasi mengenai berbagai referensi yang dipakai di sekolah internasional,” kenang Linda. Bukan hanya mengajar yang mereka lakukan, tapi mereka juga membuat sendiri semua perlengkapan yang diperlukan untuk mengajar, termasuk membuat celemek untuk anak-anak, yang akan dipakai buat pelajaran memasak. “Kami juga mengurus administrasi sendiri sehingga, kalau sedang mengajar, kantor tidak ada yang menjaga. Kalau ada orang tua yang akan mengurus administrasi, ya, harus menunggu kami selesai mengajar, ha-ha-ha…. Tapi, terus terang, kami sangat senang, sampai sekarang, karena berhasil membuat sekolah yang kami idam-idamkan,” tutur perempuan yang sangat ramah ini.

Kalau tahun pertama hanya ada tujuh anak yang menjadi murid mereka, tahun kedua bertambah menjadi 25 orang, dan setiap tahun akhirnya murid mereka semakin banyak, termasuk anak-anak dari warga negara asing. “Sekarang ini murid di Sunshine ada sekitar 200 anak,” kata Linda.

Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, Sunshine Preschool banyak ditinggalkan murid-muridnya. “Karena, ketika itu, sebagian besar murid kami adalah anak warga negara asing,” ujar Linda getir. Namun, di balik tragedi itu ada hikmahnya. “Pada waktu peristiwa itu kan yang lari ke luar negeri bukan hanya warga negara asing, tapi juga banyak warga negara kita yang lari. Nah, ketika mereka kemabli lagi ke Indonesia, ada anak-anak mereka sudah terlambat untuk didaftarkan di SD. Karena itu, beberapa di antara mereka mendesak kami untuk membuat sekolah dasar. Akhirnya, dengan pertimbangan yang cepat, kami pun membuka SD Mentari pada tahun 1998 di bilangan Kebayoran, di rumah Afi juga, dan muridnya hanya tujuh orang,” papar Linda semangat.

Pada tahun kedua, murid SD Mentari meningkat menjadi 30 orang dan tahun ketiga membludak, sehingga tahun ketiga SD Mentari terpaksa pindah ke daerah Cipete, Jakarta Selatan. “Pada tahun 2004 lalu, kami juga akhirnya mendirikan SMP Mentari, di gedung sendiri. Saya suka tertawa sendiri kalau melihat foto-foto ketika kami mengajar dulu di awal-awal dulu. O, ya, kadang ada alumni Sunshine yang main ke sekolah ini dan itu membuat kami senang sekali. Malah, ada seorang alumni Sunshine Preschool setelah lulus kuliah di Prancis sekarang mengajar di Sunshine. Wah, senangnya,” ungkap Linda di ruang kerjanya. (Pedje)

Sunshine Preschool
Jalan Lamandau IV No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telepon (021) 7265515

1 comment: